Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Catatan angin kepada langit

Rengkuh aku berjalan dalam kegagahanmu.. Memandangmu dari jauh bagiku sudah terlalu anggun.. Wahai dirimu samudera alam , Butiran awan aku lihat begitu terang, Aku yakini kau sedang berbahagia.. Maka ajaklah aku keatas yang lebih tinggi dari sekedar hanya mengagumi. Aku ingin bulan dan bintang menjadi sahabat indahku malam nanti. Bermuara diatas ranjang rerumputan, lalu berterimakasih kepada Tuhan, Bahwa aku telah dilahirkan dari alam.. Dekaplah aku, salurkan energi kegahahanmu.. Selaraskan aku dengan frekuensi mu.. Buatlah aku selalu menjagamu. Demi kelangsungan seluruh makhluk hidup yang berpangku dalam sejuk nafasmu.. Teruntuk alam semesta, engkau jawaban dari seribu tanya tentang kebesaran Tuhan.. bertabur bintang bak sebuah sukacita. Demi kehidupan seluruh makhluk, Sekarang aku tertunduk sujud. Mengaggungkan sebuah mahakarya besar milik sang pencipta.. Salam untuk bumi dan manusia, Salam kebaikan dari yang maha Agung, Tuhan yang Esa sang penguasa alam.

Ambisi

Kini aku seorang ambisi. Namun dahulu ambisi hanyalah mimpi. Aku tak tahu, apa itu ambisi ? Sampai sekarang langkahku melampaui sebuah ambisi. Aku terjatuh terlalu jauh.. Ambisi ku masih tertinggal dibelakang layar kehidupanku. Nyatanya dalam sebuah realita, ambisi itu tidak ada. Aku hanya bertemu dengan tekad. Dari dua hasil. Antara tercapai atau mungkin gagal. Ambisi bagiku seperti gangguan jiwa sintetis. Apalagi jika hanya aku duduk diam, Tanpa melakukan sedikitpun kemajuan. Bagiku kini, ambisi hanyalah hasrat besar dari manisnya sebuah mimpi. Dalam kepahitan kita tidak menemukan ambisi. Dalam kepahitan kita hanya bertemu dengan kesempatan dan pilihan. Antara melanjutkan perjalanan, atau putar langkah untuk kembali pulang. Dan aku melanjutkan tujuan, Dengan langkah kaki kecil kepastian. Dengan mimpi besar yang samar. Sampai ambisi berkata bahwa aku adalah  manusia biasa. Terimakasih perjuangan. Aku sendiri tahu arah. Demi arah tujuan, aku tahu diri. Qifhan A

Apatis

Sejak manusia tidak lagi menjadi filsuf.. Sejak manusia tidak lagi menjadi sadar.. Sejak itu pula manusia menjadi bisu. Bisu akan keselarasan dan keharusan , menjadi buta perlahan dan berkata bahwa tiap-tiap dari mereka adalah terpisah. Kejadian dan perjanjian masa lalu, lenyap ditelan pembaruan dari masa ke masa , dari kejayaan sampai fase tipu daya. Mereka bungkam karena mereka tahu akan ketidakpastian. Semua akan berubah ketika fikiran mampu diarahkan oleh kesatuan dari mereka sendiri. Karena manusia tidak mengenal lagi tentang apa itu gambaran daya imaji. Seperti mimpi, dan sendagurau belaka. Dia berkata "ini kehidupan hari ini" Hari esok bagai kegilaan bernama resah dan gelisah. "Jangan membantu untuk melepaskan jerat tali kesulitan dari mereka, karena akupun memikirkan tentang kehidupanku sendirian" "Untuk apa aku resah ? Aku dengan kehidupanku, dan mereka dengan kehidupannya" "Perbedaan diantara kami dan alam semesta itu benar adan

Hug

Dia, perempuanku.. Mengirim secarik surat. Tulisan cantik dari si kekasih hati , dari hati yang lembut kasih, dari rupa yang menawan , ia berkata demikian .. "Aku, adalah yang sudah terlatih berjalan tertatih dalam upaya memenangkanmu. Aku, merupakan yang sudah terarah memikirkan tujuan dalam upaya menjalankan kehidupan bersamamu. Namun sayang, andai aku bukan pemberhentian terakhirmu. Aku adalah yang paling rela mengutuk takdir sepenuh dosa. Meski pada kenyataannya kelak, aku tidak akan pernah sembuh utuh kembali. Apa mungkin Tuhan sengaja? Menciptakan aku sebagai yang paling rela mencari bahaya karena menyengajakan diri berayun di antara harapan dan ketakutan dalam satu wajah penuh rasa? Aku seolah menjadi pemilik kepala yang lebih keras dari suara mamah yang sedang marah dalam upaya mencintaimu. Entah sebenarnya siapa yang lebih pengecut, aku atau kamu? Yang menjadikan kita hanya serupa keinginan-keinginan yang takut memeluk langit enggan menggengam bintang seperti ini.